Arsip untuk November, 2005

Kompak Mengurus Rumah Tangga

eramuslim – Tak pernah mudah bila harus mengerjakan tugas-tugas rumah tangga sendirian, mungkin hal itulah yang selalu mampir di benak para istri. Terutama mereka yang baru memulai kehidupan berumah tangga. Menghadapi sejumlah hal yang menguji kemampuan diri untuk beradaptasi dengan sekian perbedaan yang mungkin baru tampak ketika sudah dijalani. Beradaptasi dengan sekian tugas-tugas yang terkesan tak pernah habisnya, yang tak ditemui ketika dulu hidup hanya mengurusi diri sendiri.

Setiap pagi, selalu sigap dengan sarapan yang sudah tersedia ketika suami dan anak-anak hendak berangkat menuju tempat aktivitas masing-masing, berarti mempercepat gerak untuk bangun lebih pagi dan menyiapkan semuanya. Lalu beranjak membereskan cucian yang menumpuk, untuk direndam kemudian dicuci, atau merapikan pakaian yang belum sempat disetrika. Menyapu, mengepel, kemudian merapikan perabotan. Setelah itu, mungkin saja mengguyur badan dengan air segar di kamar mandi baru sempat dilakukan. Berdandan, lalu berangkat ke kantor, atau ke tempat aktivitas lain, atau meneruskan mengerjakan pekerjaan rumah, bagi para istri yang kebetulan memang menyediakan diri mereka di rumah.

Sore hari, ketika masing-masing telah pulang setelah menghabiskan waktu seharian di luar rumah, para istri dan ibu pula lah yang berjasa membuat ‘tempat berpulang’ itu bersih dan nyaman. Sehingga para suami serta anak-anak yang kembali ke rumah dengan kondisi lelah serta penat akan mendapati rumah dalam keadaan ‘siap’. Padahal, tak jarang kini para ibu-ibu muda juga menjalani aktivitas sebagai karyawan, dengan jam kerja yang sama dengan para suami atau bahkan ada yang lebih. Tentu kelelahan dan penat itu sama dirasakan. Namun kewajiban sebagai seorang istri dan ibu tetap harus dijalankan dengan baik. Alangkah mulia mereka yang dapat menyeimbangkan antara aktivitasnya di luar dan tugas-tugas yang menanti di rumah. Sehingga tak ada yang ditelantarkan.

Begitulah idealnya, namun tak sedikit pula yang sering mengeluhkan betapa beratnya harus menjalani semua itu sendirian. Belum lagi bila menghadapi kesulitan-kesulitan kecil maupun besar, yang harus diselesaikan sendirian, sebab tak ada pasangan yang mendampingi. Perasaan yang berkecamuk, entah itu kesal, sedih, atau marah, pun seringkali harus ditelan bulat-bulat dan terlupa untuk dicurahkan ketika suami pulang. Saat kondisi itu terjadi, setan akan sangat bergembira menyambut celah dari ‘niat’ yang sangat rentan untuk digoyahkan. Untuk kemudian menumbuhkan benih-benih hitam yang akan merusak perasaan dan hati. Na’udzubillahi min dzaalik….

Di sinilah akan diuji kekompakan pasangan suami istri. Berkaitan dengan kesepakatan-kesepakatan kecil yang dapat dibuat bersama. Seorang istri bisa saja meminta kesediaan sang suami untuk membantunya mengerjakan tugas-tugas domestik, yang selama ini mungkin terbiasa dikerjakan sendirian oleh sang istri. Membagi tugas atau mengerjakannya secara bersama-sama dan bergantian, akan menciptakan keharmonisan bagi keduanya. Si suami akan dapat melatih dirinya supaya bisa berempati terhadap istri tercinta, bahwa ternyata mengerjakan semua tugas-tugas tersebut sendirian memang tak mudah. Memahami bahwa keikhlasan istri mengerjakan semua itu didasari oleh bakti dan cintanya pada suami,tentu akan menumbuhsuburkan rasa kasih sayang yang demikian besar di benak suami. Dengan menjalani tugas-tugas keseharian secara bersama-sama tersebut, pasangan suami istri akan terlatih untuk dapat saling berbagi dan mengerti tugas dan kewajibannya masing-masing. Disamping juga akan melatih keduanya untuk ber-‘amal jama’i dalam berumah tangga, dimulai dari urusan bersih-bersih dan membereskan rumah ini.

Apalagi ketika suami harus menghadapi kondisi dimana istri sakit dan tak bertenaga untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Bagi mereka yang terbiasa untuk membantu istri, mungkin kondisi ini tak kan membuat kewalahan. Sehingga kondisi rumah tetap terjaga kerapihan serta kebersihannya, walaupun bukan oleh tangan istri. Demikian pula ketika si kecil mulai meramaikan hari-hari keduanya. Pastilah istri membutuhkan bantuan-bantuan kecil dari suami, terutama hari-hari pertama setelah melahirkan.

Membangun kekompakan dalam mengurus rumah tangga memang tak mudah. Sebab hal ini berkaitan dengan kelapangan hati dan kesediaan masing-masing untuk dapat meluangkan waktu untuk dapat saling berbagi dan membantu satu sama lain. Bukankan momen ketika suami istri bersama-sama mengerjakan pekerjaan rumah dapat dijadikan sarana refreshing sekaligus pendidikan bagi kedisiplinan akan kebersihan? Sehingga kelak kebiasaan yang baik itu dapat ditularkan kepada anak-anak tercinta. Dan para ayah serta anak-anak tak kan lagi hanya akan berdiam diri dan tak peduli padahal si ummi sedang sibuk dan berpeluh menjadikan rumah bersih, indah, serta nyaman bagi seluruh anggota keluarga.

Hingga tak ada lagi para istri yang berkeluh kesah, bersungut-sungut, bahkan stres mengurusi pekerjaan rumah. Sebab hal itu hanya akan mengotori niat, padahal kesibukan di rumah, bagi istri, adalah senilai dengan mereka yang terjun ke medan jihad.

Menikahlah, Hingga Ketenangan itu Melimpah

eramuslim – Sangat tiba-tiba. Ya, saat itu ia menelpon saya dan mengabarkan bahwa ia akan segera menikah. Saya pun ribut, berucap alhamdulillah dan memprotesnya dengan banyak tanya. Perasaan baru beberapa hari sebelumnya, ia membahas tentang kesendiriannya, tentang harapannya meniti karier, tentang keinginannya melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, tentang banyak hal, tapi bukan yang satu itu. Menikah.

Pertanyaan yang begitu deras dalam benak akhirnya menemukan muaranya. Ia datang ke rumah dan melimpahi saya begitu banyak cerita. Dan yang paling penting, cerita tentang mengapa ia memutuskan menikah dulu ketimbang melanjutkan kuliahnya seperti yang selama ini ia rencanakan. Pada saat tulisan ini dibuat, usia pernikahannya sudah setahun lebih bahkan ia sudah dikaruniai seorang anak lelaki.

“Jika kamu jadi saya, kamu mau pilih selamat dulu atau berrsenang-senang?” Ucapnya penuh makna. Saya menjawab yang pertama. Dan ia mengangkat jempolnya.

“Saya juga milih selamat dulu, baru kegembiraan meraih gelar sarjana. Insya Allah dengan menikah saya akan selamat dan tenang pikirannya,” ucapannya tadi membuat alis saya bertaut.

Saya tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Menikah bukan main-main. Menikah adalah hal besar yang memerlukan waktu memutuskan tidak dalam bilangan beberapa hari. Ada banyak bekal yang harus dipersiapkan untuk menjalaninya. Tidak cukup modal insya Allah saja. Jika menikah asal-asalan, bukankah ‘selamat’ yang ia maksud hanya isapan jempol belaka. Melihat raut protes saya, ia tersenyum.

“Nul, tau kan kalo ke Gramedia niat saya baik, ingin beli buku, baca-baca yang bermanfaat. Tapi kadang jadi memilih pulang gara-gara suka ada setan cantik lewat, pake baju seksi. Sebagai lelaki normal, taulah…” ucapnya menggantung. “Mungkin jika sudah menikah, saya pasti berfikir ah itu mah biasa dan ngga usah pusing” lanjutan perkataannya membuat saya melongo dan berucap “Dih, serem amat”.

“Jadi tujuan kamu menikah seperti itu?” Tanya saya serius. Ya, bukankah sepele sekali alasan mengapa ia menikah? Hanya karena tidak tahan dengan godaan perempuan. Mengapa ia tidak menundukkan pandangan. Bisa jadi itu solusi. Setidaknya itu menurut saya.

“Iya sih kesannya hawa nafsu banget, tapi memangnya ga boleh Nul? Bukankah tujuan menikah itu salah satunya adalah agar kita terhindar dari hal-hal yang diharamkan, terhindar dari zina, dan menjadikan pikiran kita menjadi tenang. Kebetulan saudara saya menawarkan seorang perempuan dari keluarga baik-baik dan bersiap menikah. Saya memutuskan menikah diantara pilihan melanjutkan kuliah. Doain ya Nul,” ucapnya panjang lebar.

Selanjutnya saya diam, mencerna apa yang dikatakannya. Sebetulnya ingin sekali mempertanyakan kembali mengapa begitu cepat ia memutuskan. Namun melihat kesungguhannya, saya hanya tersenyum, semoga Allah memudahkan urusan pernikahannya. Saya cukup baik mengenalnya, ia teman saya di SMA.

***

Dalam sebuah kesempatan, ketika berbincang dengan suami, saya bertanya bagaimana perasaannya setelah menikah.

“Bahagia, pikiran menjadi lebih terarah dan yang pasti hati menjadi lebih tenang,” itu jawabnya. Sebuah jawaban yang kemudian membuat saya mengenang ucapan teman yang saya ceritakan di atas. Dengan menikah, hati menjadi lebih tenang.

Menikah dengan tujuan menyelamatkan diri dianjurkan oleh agama. Bukankah Rasulullah SAW sendiri bersabda dalam sebuah hadist bahwa satu dari tiga golongan yang berhak ditolong Allah selain orang yang berjihad di jalan Allah, budak yang menebus dirinya dari tuannya, adalah pemuda yang menikah karena mau menjauhkan dirinya dari hal yang haram.

Dalam Al-Quran Allah berfirman:

“Dialah yang menjadikan kamu dari diri yang satu, kemudian menjadikan daripadanya istri, agar ia merasa tentram dengannya.” (QS 7:189)

“Di antara tanda-tanda kekuasaan Nya, dijadikan-Nya bagi kalian istri-istri dari jenis-jenis kalian sendiri, agar kalian merasa tentram dengannya dan dijadikannya di antara kalian kasih sayang.” (QS 30:21)

Dari kedua ayat tersebut jelas disebutkan bahwa tujuan dari sebuah pernikahan adalah agar mendapatkan ketenangan dan ketentraman serta mendapatkan kasih sayang satu sama lainnya.

Dengan menikah, ketenangan itu bisa jadi melimpah, karena rindu itu menemukan muaranya, kasih sayang itu berada pada bingkai yang halal bahkan dinilai Allah sebagai ibadah, juga terpeliharanya diri dari perbuatan maksiat.

Wallahu a’lam

Kisah Ayah Tentang Ayahnya

eramuslim – Tiga bulan sudah saya tak mengunjungi Ayah, walau dua hari sekali masih sering telepon langsung untuk mendengar suaranya atau sekadar SMS menanyakan kabar kesehatannya. Rindu, itu kata yang paling mewakili untuk menggambarkan perasaan saya padanya, mungkin juga yang dirasa Ayah di sana. Diri ini selalu percaya, rindu yang tak pernah lekang dimakan waktu, yang tak pernah sirna dihempas angin, yang tak mungkin pupus diterik matahari adalah rindu orang tua terhadap anaknya. Rasa rindu yang belum pasti dimiliki anak terhadap orang tuanya.

Benarlah, sepuluh menit setelah bercengkerama dengan cucu-cucunya, Ayah menghampiri saya dan menanyakan kabar apa pun tentang saya, keluarga, pekerjaan, aktivitas sosial yang biasa saya geluti, sampai soal selokan di depan rumah yang kerap tergenang. Dan tak lama setelah saya menceritakan semua yang diingintahuinya itu, ganti ia yang bercerita tentang dirinya, kegiatan jalan paginya, HP baru hadiah dari abang saya yang baru pulang dari luar negeri, acara reuni dengan sahabat-sahabatnya semasa aktif di kantor dulu, hingga nyaris tak ada lagi yang bisa diceritakan. Ia, seolah tengah menemukan telinga selebar lautan yang siap menampung semua kisahnya, dan itu adalah telinga saya.

Tak terasa tiga jam lebih kami berbicara, pembicaraan yang begitu dekat, antara sesama hati yang merindu. Tapi dari semua yang diceritakannya, ada satu yang teramat menarik bagi saya, sepenggal kisah tentang masa kecilnya bersama Ayahnya. Bercerita Ayah tentang Ayahnya, saya memanggilnya Babah. Suatu sore, ia tengah bermain kelereng ketika Babah hendak memintanya membeli minyak tanah. Tahu anaknya tengah bermain, ia mengurungkan niatnya dan membiarkan anaknya terus bermain. Kemudian Babah hanya berpesan kepada salah seorang keponakannya, “Bilangin si mbing kalau mainnya sudah selesai, Babah mau suruh dia beli minyak tanah”.

Mpok Mul, begitu Ayah memanggil kakak sepupunya itu pun menghampiri adiknya, “Mbing, Babah bilang kalau mainnya sudah selesai tolong beliin minyak tanah”. Si anak pun bergegas menyudahi permainannya setelah meminta izin kepada teman-temannya.

***
Ayah menegaskan kalimat “kalau mainnya sudah selesai” dan itu berkali-kali diucapkannya dengan tegas untuk saya perhatikan. Menurutnya, Babah mengatakan itu ada maknanya, Ayahnya hanya ingin menyuruhnya membeli minyak tanah setelah ia memenuhi hak anak untuk bermain. Sebagai seorang Ayah, ia tak ingin mengganggu hak bermain anaknya, meski sebagian orang tua merasa berhak untuk meminta anaknya melakukan apa pun perintahnya tanpa boleh membantah.

Babah, kata Ayah, meski hanya lelaki lulusan Sekolah Rakyat kelas tiga setingkat kelas tiga SD, sangat mengerti psikologi mendidik anak. Orang tua yang ingin dihormati haknya oleh anak semestinya juga menghormati hak anak, salah satunya adalah hak untuk bermain, karena bermain merupakan cara anak-anak untuk belajar bersosialisasi. Tugas orang tua hanya memberi tahu batas-batas dalam bermain, misalnya soal waktu, dan juga pekerjaan utama di rumah yang semestinya didahulukan sebelum bermain.

Ayah pun bertanya kepada saya, “Bagaimana perasaan kamu kalau lagi main, dan kondisi kamu sedang kalah. Lalu Ayah memanggil kamu?” “Tidak ikhlas,” jawab saya. Ya, Babah tidak mau anaknya menjalankan perintahnya secara tidak ikhlas, dengan hati yang menggerutu, dengan dada yang disesaki rasa kesal. Sebaliknya, jika si anak sedang menang dan Ayahnya memanggil, siapa yang kesal? Pastilah teman-teman anaknya, “Bapak lu brengsek, tahu anaknya lagi menang dipanggil.” Sudah pasti ada dua orang yang dirugikan, Ayah dan anaknya. Ayahnya dibilang ‘brengsek’, anaknya mungkin akan dikucilkan dalam permainan berikutnya.

Hmm, tiga jam tak kan pernah sia-sia untuk berbicara dengan Ayah. Ada banyak pelajaran baru yang bisa saya ambil dari kisah-kisahnya. Dan sudah pasti saya akan selalu merindui perjumpaan dengannya, sampai kapan pun. Terima kasih Ayah.

Bayu Gawtama

Membuka Komunikasi, Menyatukan Hati

eramuslim – Membangun jalan komunikasi memang tidak selamanya mudah, perlu waktu bahkan bantuan dari pihak lain. Berikut beberapa hal yang bisa membantu suami istri agar dapat membuka dan melancarkan komunikasi, diantaranya:

Menyamakan pandangan

Komunikasi merupakan modal awal perkawinan yang akan berimbas pada kelancaran berkomunikasi pasangan suami istri. Dalam rumah tangga yang akan dikomunikasikan adalah pilihan-pilihan hidup yang sesuai dengan kemauan dan keinginan, sedangkan kemauan dan keinginan adalah buah keyakinan kita.

“Sehingga tidak mungkin komunikasi bisa baik, kalau pandangan soal baik dan buruk sudah beda. Terutama baik dan buruk yang sangat prinsipil, ” jelas Ustadz Ahmad Sahal Hasan Dosen STAIDI al-Hikmah Jakarta

Oleh karena itu, tambahnya menyamakan visi dan misi adalah hal yang sangat penting dan harus dilakukan sebelum pernikahan atau paling tidak sejak awal pernikahan. Persamaan pada hal yang besar ini, seringkali mampu menyingkirkan krikil-krikil kecil dalam perjalanan perkawinan, termasuk soal kelancaran berkomunikasi.

Memahami latar belakang dan karakter pasangan

Menurut Evi Elviati, Psi. Karakter adalah hal dasar yang sudah ada pada diri seseorang sejak lahir. namun, dengan jenis apapun karakter seseorang tetap mampu berkomunikasi, karena komunikasi merupakan ketrampilan. Latihan terus menerus akan menjadikan orang trampil berkomunikasi.

Untuk latihan ini, pihak lain dalam hal ini suami istri dapat saling memberikan bantuan. Misalnya, bila suami nampak susah berkomunikasi karena karakternya yang sangat pendiam, maka istri dapat membantu suami mengungkapkan isi hatinya. “Kita harus bisa menyiasatinya, sehingga bila ada apa-apa dia mau membicarakannya. Suka tidak suka, bilang. Kalau setiap kali kita beri stimulasi, lama-lama dia akan bisa, ” ungkap Evi

Dalam hal perbedaan latar belakang, misalnya budaya. Lagi-lagi diperlukan kebesaran hati masing-masing untuk menerimanya. Kalaupun kemudian mengganggu komunikai, misalnya yang satu tidak biasa berbicara pelan, sedangkan yang lainnya tidak biasa bicara keras-keras, perlu dilakukan pembiasaan atau penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan kedua belah pihak.

“Keduanya harus bisa saling menyesuaikan tidak bisa sekedar memaksakan kehendak, sementara kita sendiri tidak mau berubah. Jadi kita lihat mana yang bisa diubah, kita ubah, ” papar Evi

Meluruskan persepsi

Kesalahan persepsi seringkali menjadi hambatan dalam berkomunikasi. Ketika suami pulang larut malam, istri langsung saja marah tanpa mendengarkan alasan suami. Apapun yang dikatakan oleh suami dianggapnya bohong. Padahal suami mengatakan alasan benar dan tidak dibuat-buat.

Kejadian ini kerapkali terjadi, padahal seharusnya tidak perlu terjadi bila ada proses klarifikasi. “Jangan punya persepsi buruk dulu. Dalam Islam kan ada yang namanya tabayun, ” kata Evi lagi

Begitu pun sikap suami yang terlalu merendahkan istri, karena punya persepsi memang begitulah kedudukan istri. Persepsi ini perlu diluruskan karena Islam meninggikan derajat kaum ibu.
“Supaya persepsi kita pas dengan persepsi Islam, kita harus merujuk pada praktek Rasulallah dan para sahabat,” ujar Ustadz Ahmad Sahal

Dengan mempelajarinya, bisa jadi prilaku pasangan yang sebelumnya tidak kita sukai dan kita anggap tidak baik, ternyata sesuai dengan tuntunan Islam. Itu artinya ia harus mengubah persepsi yang selama ini tertanam dibenaknya.

Membangun Empati

Menempatkan diri pada tempat orang lain, cukup efektif untuk menjadikan kita mengerti parasaan dan pikiran orang lain. Pertimbangkanlah apakah bila kita mengatakan seseuatu pada suami atau istri yang mungkin cukup sensitif ia tidak akan tersinggung? Atau apakah waktu dan kondisinya tepat untuk mengungkapkan isi hati?

Mungkin boleh dibilang kurang berempati bila seorang istri mengajak suami berdiskusi panjang lebar, sementara suami baru saja pulang kerja dan terlihat sangat lelah. Saat kita mengerti perasaan dan pikiran pasangan, maka bahasa yang kita ucapkanpun akan lebih mengena bagi dirinya. Komunikasi tentu akan jauh lebih efektif.

Bersikap Asertif

Orang yang asertif tahu perasaan dan keinginannya, serta berani mengungkapkannya tanpa melukai perasaan orang lain. Seorang istri sebenarnya mempunyai hak untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Dan istripun seharusnya mempunyai keberanian untuk mengungkapkannya pada suami, tanpa harus mengabaikan rasa hormat terhadap suami.

Seringkali seorang istri mempunyai keinginan, tapi enggan untuk menyampaikannya kepada suami, dan istri berharap suami akan mengetahuinya sendiri. Padahal, bagaimana mungkin suami dapat mengetahui keinginannya kalau tidak diberi tahu. “Kalau tidak ada komunikasi , manalah dia tahu apa yang kita mau. Dia kan tidak tahu isi hati kita. Karena yang tahu isi hati kita, hanya Allah dan kita, ” tegas Evi

Mendekatkan diri pada Allah

Upaya mendekatkan diri pada Allah urgensinya sangat besar, sekaligus sebagai simpul semua usaha melicinkan jalan komunikasi bagi pasangan suami istri. “Karena kita yakin yang memegang hati itu adalah Allah. Kalau hubungan kita dekat dengan Allah, maka hati pasangan kita ada dalam genggamanNya. Kalau dia kecewa dan kesal pada kita, dengan izin Allah, allah akan cairkan kebekuan hatinya, ” jelas Ustadz Ahmad Sahal.

Artikel ini diambil dari Majalah Ummi No.1/XVII Mei 2005/1426

Ungkapan Sederhana Untuk Istri Tercinta

Bila malam sudah beranjak mendapati Subuh, bangunlah sejenak. Lihatlah
istri Anda yang sedang terbaring letih menemani bayi Anda. Tataplah
wajahnya yang masih dipenuhi oleh gurat-gurat kepenatan karena seharian
ini badannya tak menemukan kesempatan untuk istirah barang sekejap, Kalau
saja tak ada air wudhu yang niembasahi wajah itu setiap hari, barangkali
sisa-sisa kecantikannya sudah tak ada lagi.

Sesudahnya, bayangkanlah tentang esok hari. Di saat Anda sudah bisa
merasakan betapa segar udara pagi, Tubuh letih istri Anda barangkali belum
benar benar menemukan kesegarannya. Sementara anak-anak sebentar lagi akan
meminta perhatian bundanya, membisingkan telinganya dengan tangis serta
membasahi pakaiannya dengan pipis tak habis-habis. Baru berganti pakaian,
sudah dibasahi pipis lagi. Padahal tangan istri Anda pula yang harus
mencucinya.

Di saat seperti itu, apakah yang Anda pikirkan tenang dia? Masihkah Anda
memimpikan tentang seorang yang akan senantiasa berbicara lembut kepada
anak-anaknya seperti kisah dari negeri dongeng sementara di saat yang sama
Anda menuntut dia untuk menjadi istri yang penuh perhatian, santun dalam
bicara, lulus dalam memilih kata serta tulus dalam menjalani tugasnya
sebagai istri, termasuk dalam menjalani apa yang sesungguhnya bukan
kewajiban istri tetapi dianggap sebagai kewajibannya.

Sekali lagi, masihkah Anda sampai hati mendambakan tentang seorang
perempuan yang sempurna, yang selalu berlaku halus dan lembut? Tentu saja
saya tidak tengah mengajak Anda membiarkan istri kita membentak anak-anak
dengan mata rnembelalak. Tidak. Saya hanya ingin mengajak Anda melihat
bahwa tatkala tubuhnya amat letih, sementara kita tak pernah menyapa
jiwanya, maka amat wajar kalau ia tidak sabar. begitu pula manakala
matanya yang mengantuk tak kunjung memperoleh kesempatan untuk tidur
nyenyak sejenak, maka ketegangan emosinya akan menanjak. Disaat itulah
jarinya yang lentik bisa tiba-tiba membuat anak kita rnenjerit karena
cubitannva yanq bikin sakit.

Apa artinya? Benar, seorang istri shalihah memang tak boleh bermanja-manja
secara kekanak-kanakan, apalagi sampai cengeng. Tetapi istri shalihah
tetaplah manusia yang membutuhkan penerimaan. Ia juga butuh diakui, meski
tak pernah meminta kepada Anda. Sementara gejolak-gejolak jiwa yang
memenuhi dada, butuh telinga yang mau mendengar. Kalau kegelisahan jiwanya
tak pernah menemukan muaranya berupa kesediaan untuk mendengar, atau ia
tak pernah Anda akui keberadaannya, maka jangan pernah menyalahkan
siapa-siapa kecuali dirimu sendiri jika ia tiba-tiba meledak. Jangankan
istri kita yang suaminya tidak terlalu istimewa, istri Nabi pun pernah
mengalami situasi-situasi yang penuh ledakan, meski yang membuatnya
meledak-ledak bukan karena Nabi Saw. tak mau mendengar melainkan semata
karena dibakar api kecemburuan. Ketika itu, Nabi Saw. hanya diam
menghadapi ‘Aisyah yang sedang cemburu seraya memintanya untuk mengganti
mangkok yang dipecahkan.

Alhasil, ada yang harus kita benahi dalam jiwa kita. Ketika kita
menginginkan ibu anak-anak kita selalu lembut dalam mengasuh, maka bukan
hanya nasehat yang perlu kita berikan. Ada yang lain. Ada kehangatan yang
perlu kita berikan agar hatinya tidak dingin, apalagi beku, dalam
menghadapi anak-anak setiap hari, Ada penerimaan yang perlu kita tunjukkan
agar anak-anak itu tetap menemukan bundanya sebagai tempat untuk
memperoleh kedamaian, cinta dan kasih-sayang. Ada ketulusan yang harus
kita usapkan kepada perasaan dan pikirannya, agar ia masih tetap memiliki
energi untuk tersenyum kepada anak-anak kita. Sepenat apa pun ia.

Ada lagi yang lain: pengakuan. Meski ia tidak pernah menuntut, tetapi
mestikah kita menunggu sampai mukanya berkerut-kerut. Karenanya, marilah
kita kembali ke bagian awal tulisan ini. Ketika perjalanan waktu telah
melewati tengah malam, pandanglah istri Anda yang terbaring letih itu.
lalu pikirkankah sejenak, tak adakah yang bisa kita lakukan sekedar Untuk
menqucap terima kasih atau menyatakan sayang? Bisa dengan kata yang
berbunga-bunga, bisa tanpa kata. Dan sungguh, lihatlah betapa banyak cara
untuk menyatakannya. Tubuh yang letih itu, alangkah bersemangatnya jika di
saat bangun nanti ada secangkir minuman hangat yang diseduh dengan dua
sendok teh gula dan satu cangkir cinta. Sampaikan kepadanya ketika matanya
telah terbuka, “Ada secangkir minuman hangat untuk istriku. Perlukah aku
hantarkan untuk itu?”

Sulit melakukan ini? Ada cara lain yang bisa Anda lakukan. Mungkin sekedar
membantunya menyiapkan sarapan pagi untuk anak-anak, mungkin juga dengan
tindakan-tindakan lain, asal tak salah niat kita. Kalau kita terlibat
dengan pekerjaan di dapur, rnemandikan anak, atau menyuapi si mungil
sebelum mengantarkannya ke TK, itu bukan karena gender-friendly; tetapi
semata karena mencari ridha Allah. Sebab selain niat ikhlas karena Allah,
tak ada artinya apa yang kila lakukan. Kita tidak akan mendapati amal-amal
kita saat berjumpa dengan Allah di yaumil-kiyamah. Alaakullihal, apa yang
ingin Anda lakukan, terserah Anda. Yang jelas, ada pengakuan untuknya,
baik lewat ucapan terima kasih atau tindakan yang menunjukkan bahwa dialah
yang terkasih. Semoga dengan kerelaan kita untuk menyatakan terima-kasih,
tak ada airmata duka yang menetes dari kedua kelopaknya. Semoga dengan
kesediaan kita untuk membuka telinga baginya, tak ada lagi istri yang
berlari menelungkupkan wajah di atas bantal karena merasa tak didengar.
Dan semoga pula dengan perhatian yang kita berikan kepadanya, kelak istri
kita akan berkata tentang kita sebagaimana Bunda ‘Aisyah radhiyallahu anha
berucap tentang suaminya, Rasulullah Saw., “Ah, semua perilakunya
menakjubkan bagiku.”

Sesudah engkau puas memandangi istrimu yang terbaring letih, sesudah
engkau perhatikan gurat-gurat penat di wajahnya, maka biarkanlah ia
sejenak untuk meneruskan istirahnya. Hembusan udara dingin yang mungkin
bisa mengusik tidurnya, tahanlah dengan sehelai selimut untuknya.
Hamparkanlah ke tubuh istrimu dengan kasih-sayang dan cinta yang tak
lekang oleh perubahan, Semoga engkau termasuk laki-laki yang mulia, sebab
tidak memuliakan wanita kecuali laki-laki yang mulia.

Sesudahnya, kembalilah ke munajat dan tafakkurmu. Marilah kita ingat
kembali ketika Rasulullah Saw. berpesan tentang istri kita. “Wahai
manusia, sesungguhnya istri kalian mempunyai hak atas kalian sebagaimana
kalian mempunyai hak atas mereka. Ketahuilah,”kata Rasulullah Saw.
melanjutkan, ‘kalian mengambil wanita itu sebagai amanah dari Allah, dan
kalian halalkan kehormatan mereka dengan kitab Allah. Takutlah kepada
Allah dalam mengurus istri kalian. Aku wasiatkan atas kalian untuk selalu
berbuat baik. ” Kita telah mengambil istri kita sebagai amanah dari Allah.
Kelak kita harus melaporkan kepadaAllah Taala bagairnana kita menunaikan
amanah dari-Nya kah kita mengabaikannya sehingga gurat-gurat an dengan
cepat rnenggerogoti wajahnya, jauh awal dari usia yang sebenarnya?
Ataukah, kita sempat tercatat selalu berbuat baik untuk isti Saya tidak
tahu. Sebagaimana saya juga tidak tahu apakah sebagai suami Saya sudah
cukup baik jangan-jangan tidak ada sedikit pun kebaikan di mata istri.
Saya hanya berharap istri saya benar-banar memaafkan kekurangan saya
sebagai suami. indahya, semoga ada kerelaan untuk menerima apa adanya.
Hanya inilah ungkapan sederhana yang kutuliskan untuknya. Semoga Anda bisa
menerima ungkapan yang lebih agung untuk istri Anda.

Sebuah Khutbah Nikah

Pernikahan adalah salah satu perintah Tuhan, dan ini
merupakan jalan para Anbiya, termasuk manusia pertama,
Adam as dan wanita pertama, Hawa. Mereka melangsungkan
pernikahannya di Surga, oleh sebab itu Allah
memberikan suatu Wewangian Surgawi kepada pasangan
yang melangsungkan pernikahannya agar mereka bahagia.
Tetapi mereka harus menjaga sendiri wewangian itu
sepanjang hidupnya,ini sangat penting

Dan sekarang kita memohon kepada Allah untuk
melestarikan wangi tadi di antara mereka berdua
sepanjang jalan mereka, sepanjang hidup mereka di
dunia, dan kita berharap agar mereka akan bersatu di
Akhirat kelak, di kehidupan yang kekal. Itulah makna
dari pelaksanaan upacara pernikahan bagi satu pasangan
baru.

Kita bersyukur kepada Tuhan kita, yang menciptakan
pria dan wanita, dan mengaruniai mereka dari Cinta
Ilahi-Nya. Jika Dia tidak menganugerahkan Cinta
Ilahi-Nya, tak seorang pun yang akan menemukan
jodohnya. Dan Dia memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk
menjalani kehidupan yang mulia, dengan menjadi kan
orang saling berpasangan, bukannya satu wanita untuk
semua pria atau seorang pria bagi seluruh wanita.

Merupakan suatu kehormatan bagi wanita, bahwa seorang
wanita hanya diperuntukkan bagi seorang pria dan
sebaliknya seorang pria hanya untuk seorang wanita.
Itu merupakan suatu kemuliaan bagi mereka di kehidupan
ini. Siapa pun yang melanggar aturan tersebut, Allah
tidak akan menyebut mereka sebagai orang yang
terhormat. Oleh sebab itu kita memegang teguh upacara
yang mulia ini, dan kita memohon kepada Allah agar
mereka berhasil dalam menjalani kehidupan mereka
bersama.

Kamu hanya boleh memandang suamimu. Siapakah orang
yang paling tampan di dunia? Jika kamu ditanya, kamu
harus menjawab bahwa suami saya adalah orang yang
paling tampan. Begitu pula dengan kamu (pria),
siapakah orang tercantik di London? Istrimu. Jika
masing-masing melihat pada pasangannya, takkan ada
lagi masalah, baik di London, di Inggris, di Turki, di
Siprus, di Timur dan di Barat.

Ini adalah nasihat yang paling penting bagi pasangan
yang baru menikah. Saya mendengar tentang banyak
pasangan yang mendaftarkan diri melalui petugas
pendaftaran (KUA-red). Setelah tiga hari, setelah tiga
minggu, setelah tiga bulan, setelah tiga tahun,
keduanya menjalani jalan yang berbeda, karena mereka
melihat (pada orang lain), yang wanita melihat pria
lain; yang pria melihat wanita lain. Kalau demikian,
pernikahan mereka tidak akan berusia panjang.

Sekarang kalian tengah membangun suatu ‘gedung�Ebaru,
melangsungkan sebuah pernikahan, dan kita memohon
kepada Allah untuk membuat kalian saling mencintai
satu sama lain. Bawakan dia beberapa perhiasan (emas),
seperti ini, seperti itu, sehingga dia akan senang
denganmu. Lakukanlah selalu; ketika istrimu marah
kepadamu, bawakanlah sesuatu yang disukainya.

Kalian harus tahu, kalian semua: Jangan menyakiti hati
istri kalian, jangan menyakiti hati istri kalian!
Buatlah (suasana) agar mereka senantiasa bahagia
dengan kalian; kalau tidak demikian, ketika kalian
datang, mereka akan pergi. Kalian mengerti? Jagalah
agar mereka tetap bahagia. Dengan demikan mereka pun
akan berusaha membuat kalian bahagia.

Wanita sangat beruntung, di sini dan di Akhirat nanti.
Apa alasannya? Karena takkan ada pertanyaan bagi
mereka. Pada Hari Kebangkitan, setiap wanita akan
datang bersama suaminya dan ketika si suami masuk
Surga, istrinya pun akan masuk bersamanya. Tak ada
pertanyaan bagi mereka. Tetapi kalian—para pria—kalian
akan mendapat begitu banyak pertanyaan.

Kalian mengerti? Tunjukkan passpor kalian di depan
pintu Surga, masuklah, dan istri kalian akan masuk
bersama kalian. “Ini istrimu?�EAllah ‘Azza wa Jalla
akan bertanya pada kalian. Kalian akan menjawab, “Ya.�E“Kamu bahagia bersamanya?�EJika kalian menjawab, “Ya�E
Allah akan berkata, “Bawa dia masuk ke dalam Surga.�E

Tetapi jika kalian berkata, “Ya Tuhanku, Aku tidak
pernah puas dengannya. Dia terlalu banyak bicara!�ELalu Allah akan berkata, “Berhentilah! Berdiri!
Mengapa kamu tidak bahagia dengannya? Dia adalah hijab
antara dirimu dengan Neraka. Jika dia tidak bersamamu,
kamu pasti sudah tergelincir ke jurang Neraka. Oleh
sebab itu mereka semua lebih berharga dari pada
kalian.�E
Ya, karena jika istri kalian tidak melayanimu sebagai
hijab, kita semua akan terjerumus ke dalam Neraka, tak
seorang pun yang akan mengeluarkan kita, kecuali
isteri kita, tempat berlindung kita. Jadi di siang
hari, ketika kalian hendak berangkat kerja, raihlah
tangan istrimu (Syaikh Nazhim menunjukkan gerakan
mencium tangan), begitu pula di malam hari. Kalian
harus memperlakukan istri kalian dengan lembut. Ya,
hal ini adalah benar, mutlak, yakin dan bahkan sangat
benar.

Oleh sebab itu kalian harus menjaga hak-hak mereka.
Kalian, para pria suka melakukan kekejaman terhadap
wanita dan tidak mempedulikan hak-hak mereka. Setiap
orang harus menjaga hak-hak mereka (wanita). Allah
akan bertanya, “Mengapa kalian tidak merasa puas
terhadap istri kalian? Apa masalahnya, karena dia
adalah yang menjadi hijab antara kalian dengan Neraka,
apakah dia tidak menjaga rumahmu? Apakah dia tidak
memasak? Tidak mencuci? Tidak merawat anak-anak? Tidak
bersih-bersih?�EAllah akan bertanya.

Tidak ada kewajiban bagi wanita untuk melakukan suatu
pekerjaan. (Menurut syari’ah Islam, sebenarnya
pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak merupakan
tugas pria atau suami. Jika istri tidak sanggup atau
tidak ingin merawat anaknya, maka si suami bertanggung
jawab untuk menyediakan makanan bagi anaknya. Namun
karena sudah menjadi kebiasaan, maka istrilah yang
mengerjakan hal-hal tersebut.

Syaikh Nazhim mengatakan bahwa pria harus bersikap
lebih apresiatif, arif dan menolong bukannya
memanfaatkan istrinya untuk mengurus rumah dan merawat
anaknya.) Kalian (pria) harus melakukannya: mencuci,
bersih-bersih, dan merawat anak-anak. Dalam syari’ah,
Allah swt bahkan tidak memerintahkan wanita untuk
memberikan susu kepada anak-anak kalian. Itu termasuk
tanggung jawab kalian, wahai pria. Kalian harus
menyediakannya (susu), kalian harus membayarnya.

Kalian memberi bayaran pada wanita? Untuk setiap bayi
yang dia lahirkan, kalian harus membawakan rantai emas
(perhiasan) untuk istrimu. Ya, ketika dia memberikan
susunya kepada si bayi, kalian harus membayarnya,
bukannya mengatakan, “Kamu dapat melakukannya, kamu
bisa menemukan seseorang untuk memberi susu kepada
bayimu.�E
Jangan menyuruhnya untuk bekerja! Dia hanyalah sebagai
hijab antara kamu dengan hal-hal yang haram, itulah
tugasnya. Segalanya berada di pundak pria, tetapi
mereka (wanita) mau melakukannya�Ekarena mereka
bersyukur kepada kita, mereka melakukannya dengan
sukarela. Apakah kamu sekali-sekali pernah mencuci?

Bihurmati habib, al Fatihah